Oleh: Holy_Qu | Februari 11, 2010

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Ranting dan Masjid

Minggu, 07 Februari 2010
 
Yogyakarta – Hari kedua Seminar dan Lokakarya Nasional “Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat” di Kampus I Univ. Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ahad (7/02/2010), peserta mendapatkan paparan pengalaman praktik pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM) di Pekalongan oleh Drs.Achmad Su’ud, Manager Pusat BTM Jawa Tengah yang juga Manager Primer KJKS BTM Wiradesa Pekalongan.
Su’ud pada awalnya menerangkan perbedaan konsep BTM dengan konsep BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) yang berkembang di dalam masyarakat.”Saat ini di Muhammadiyah dibedakan antara Baitul Maal dan Baitut Tamwil, karena menurut kami antara Maal dan Tamwil harus di pisah.” terangnya. “Seperti Zakat Infaq Shadaqah yang khusus dikelola oleh LAZIS Muhammadiyah” imbuhnya.
BTM menurut Su’ud adalah mediator, yang menjembatani mereka yang memiliki kelebihan likuiditas kepada mereka yang kekurangan likuidias. BTM membuat program pinjaman tanpa bunga atau yang biasa disebut Qordhul Hasan . Kalau BMT mendapatkan biaya Qordhul Hasan dari ZIS, untuk BTM berasal dari 5 % portofolio pembiayaan. “Pemberdayaan dengan Qordhul Hasan ini berbasis Ranting dan Jamaah Masjid, karena kami ingin juga peran serta berbasis ranting dan masjid.” terangnya.
Untuk menyalurkan Qordhul Hasan jumlahnya mungkin tidak terlalu besar, namun ini sesuatu yang harus kita mulai. Menurut Su’ud, per Desember 2009, portofolio pembiayaan ada 53 Milyar. 5%nya sebesar 2,5 Milyar. Ini sumber dana untuk pemberdayaan dengan harapan ada di tiap-tiap ranting. “Secara teknis sistemnya dengan sistem kelompok, dengan mekanisme tanggung renteng, yaitu kalau ada kegagalan mengembalikan dalam satu kelompok menjadi tanggung jawab bersama, dan nantinya kita tidak akan mendroping lagi karena mereka tidak bertanggung jawab.
Namun tidak selalu begitu, karena kalau ada yang tidak bisa membayar, akan ditutup dengan bagian Ghorim dari LazisMuh dari penerimaan dana Zakat dari Lazis Muhammadiyah . ”Karena setiap BTM juga berdampingan dengan Lazis Muhammadiyah” terangnya. Bagi mereka yang mandiri setelah menerima , mereka diarahkan untuk mengakses pemberdayaan komersial dari BTM.
Target Pembiayaan
Su’ud menyatakan, sasaran program pertama adalah warga Muhammadiyah yang memiliki KTA, baru kemudian simpatisan, kemudian warga dan simpatisan yang memiliki usaha mikro. Dana yang disalurkan sebagai modal kerja atau pembelian peralatan kerja. “Penggunaan modal kerja dan peralatan kerja menjadi prioritas, dan pengembaliannya tidak lebih dari yang diterima.” terangnya.
“Pinjaman pemberdayaan dari pemerintah saja, penerima terkena bunga dua persen” terangnya. “Ada juga pada BMT yang salah urus, dalam kenyataaannya sistemnya bukan sistem syariah, bagi hasilnya jauh lebih mahal dari lembaga lain.” kisahnya kemudian. Dalam pemberdayaan model BTM di Pekalongan, penerima tidak perlu membayar lebih dari yang diterima, sehingga mereka punya kesempatan untuk menyisihkan.
Pembiayaan yang dibiayai dengan fasilitas Qordhul Hasan yang kedua adalah untuk biaya pendidikan dan pengobatan. Biasanya tahun ajaran baru banyak anggota dan simpatisan yang kesulitan untuk membayar uang pangkal. “Maka kami salurkan kepada mereka untuk keperluan biaya pendidikan” terangnya. Selain itu tidak jarang mereka yang untuk membayar rumah sakit, terpaksa menjual tanahnya atau aset yang lain. “Dalam kasus ini kami talangi dahulu biaya pengobatannya, sehingga penjualan asetnya dilakukan dengan normal.” lanjutnya.
Dalam kaitannya dengan gerakan Muhammadiyah, program Qordhul Hasan BTM di Pekalongan juga memberikan dana talangan untuk perbaikan amal usaha Muhammadiyah. Pertimbangannya karena banyak Amal Usaha Muhammadiyah yang butuh waktu lama untuk mengumpulkan dana perbaikan. “Kalau kelamaan bisa tambah rusak, mereka akan mengusulkan dana perbaikan kepada BTM dalam bentuk proposal.” katanya. Sementara itu bentuk penanggunggan resikonya dilakukan dengan rekomendasi dari Pimpinan Ranting Muhammadiyah, dengan maksudnya agar ranting Muhammadiyah bisa bergerak mendampingi kelompok.
Selain itu, di BTM Pekalongan semua karyawan BTM akan menjadi pendamping penerima Qardhul Hasan, sehingga karyawan juga aktif dalam pengajian . ”Ini cara kami agar karyawan bisa berhidmat dalam persyarikatan, mereka bisa menerima permohonan, bisa melakukan analisis, sehingga mereka harus aktif di ranting dan masjid.” terangnya.
Pada akhir paparannya, Su’ud menyatakan bahwa orang miskin sekarang ini tidak sekedar diberi kail, namun juga harus ditunjukkan dimana mereka mengail dengan diajari cara mengail dan yang tidak kalah pentingnya juga diperbolehkan mengail. ”Diperbolehkan ini berhubungan dengan kebijakan pemerintah, tidak cukup hanya memberikan kail” pungkasnya.

Di Pekalongan dan sekitarnya, sekarang ini terdapat 20 BTM :
1 BTM Sekunder (Pusat BTM Jawa Tengah) dan 19 BTM Primer, yaitu 10 BTM di Kabupaten Pekalongan (BTM Wiradesa, BTM Wuled, BTM Kajen, BTM Doro, BTM Karanganyar, BTM Talun, BTM Kedungwuni, BTM Kesesi, BTM Bojong, dan BTM Bligo), 3 BTM di Kabupaten Pemalang (BTM Comal, BTM Ulujami dan BTM Pemalang), 2 BTM di Kabupaten Banjarnegara (BTM Kalibening dan BTM Punggelan), 2 BTM di Kabupaten Batang (BTM Batang dan BTM Bandar), serta 1 BTM di Kota Pekalongan (BTM Kota Pekalongan).


Tanggapan

  1. muhammadiyah bikin koperasi,ya??? bagus,sich tapi mampukah mengelolaanya dengan amanah? atau cuma konspirasi dan menyediakan kepentingan bagi para pengelolanya saja.. web ini sudah terlalu basii,nie.. update lagi donk,min…


Tinggalkan komentar

Kategori